Aku masih begitu ingat dengan seniorku sewaktu SMA dulu. Setiap ia memberikan nasehat, mengisi acara, maupun berdebat ia selalu mempunyai ciri khas seperti itu. Hampir setiap menyelesaikan satu kalimat, akan di akhiri dengan kata seperti itu.
Sebuah frasa yang digunakan untuk mempertegas sebuah pernyataan. Seperti itu kira-kira kegunaannya. Tapi apabila frasa seperti itu digunakan dengan porsi yang over atau terlalu banyak, malah akan menjadi janggal dan aneh. Seperti itulah. Tapi entah kenapa, sewaktu aku menyaksikan penggunaan frasa seperti itu secara over oleh seniorku yang seperti itu malah menjadi suatu cirikhas. Penambah rasa kewibawaan. Seperti itu.
Aku tak tahu kenapa seniorku sering membawa seperti itu dalam setiap argumen-argumennya. Tapi yang jelas aku pernah mengalaminya dengan kata terus. Saat itu aku masih semester awal kelas 2 SMA. Dalam sebuah forum Pramuka, aku menjelaskan sebuah kasus kepada juniorku. Kata Bianca, aku menggunakan kata terus sampai 27 kali. Seperti itu. Yah, mungkin saja aku seperti itu karena grogi dengannya karena waktu itu
Terus, aku jadi terpikir apakah seniorku yang seperti itu juga seperti aku. Grogi, seperti itu? Terus apakah ada salah satu juniorku yang merasakan seperti yang aku rasakan? Sebuah cirikhas yang menambah kewibawaan? Beda kali. Memangnya aku berwibawa? Yah, itu adalah pertanyaan yang seharusnya anda jawab. Seperti itu mungkin…. Ha.. Ha.. Ha…
Pesan Moral:
Dalam kasus beberapa orang, berbicara adalah menjadi sebuah ciri khas. Walaupun biasanya itu melanggar ejaan yang disempurnakan. Bisa karena grogi atau sudah menjadi sebuah kebiasaan. Akibatnya bisa terlihat menjadi berwibawa (kalau orang itu memang wibawa) atau membuat tubuh mengeluarkan keringat dingin, pergelangan kaki gemetaran, tangan menggaruk-garuk tak jelas, terus,, dan terus…
0 komentar:
Posting Komentar