Siang hari yang menyengat, di pertigaan jalan itu terlihat beberapa calo, tukang becak, dan pedagang asongan lalu lalang menanti datangnya bus yang lewat. Tak berapa lama sebuah bus antar kota mengurangi kecepatan secara perlahan dari arah timur. Bus itu tepat berhenti di dekat rumah makan di pinggir jalan. Para pedagang asongan dan beberapa tukang becak segera menyerbu bus itu. Siapa tahu mereka akan mendapatkan rezeki untuk memberi makan anak dan istri mereka.
Seorang gadis berkulit hitam manis dengan rambut sebahu terurai turun dari bus.
“Mbak, becak, mbak?”, kata seorang tukang becak menawarkan jasa.
“Tidak.”, jawab gadis berkaos putih itu sopan.
Gadis itu berlalu meninggalkan lalu lalang di sekitar bus yang baru saja berhenti itu. Ia berjalan menuju RS Kristen dan menyeberang jalan, lalu memasuki jalan kecil di depan Rumah Sakit. Wajah gadis itu tampak ceria.
“Huh, dua bulan telah berlalu. Tempat ini masih seperti dulu. Nyaman.”, kata gadis yang bertubuh seksi atau bisa dibilang agak gendut itu.
Ia masuk ke sebuah rumah sederhana, di depannya tumbuh sebuah pohon mangga.
“Eh, laras udah pulang!”, sapa seorang wanita paruh baya yang mengenakan seragam putih-putih itu kepada gadis yang bernama laras itu, “Gimana perjalanannya, nak?”
“Yah, jelas capek lah bun. Eh bunda mau ke RS?”, katanya kepada wanita tadi yang ternyata Ibunya. Ibunya adalah seorang perawat di RS Kristen di seberang jalan besar itu.
“Iya, bunda jaga siang! Tuh di meja makan ada makanan, kalau kamu mau makan siang.”, kata wanita itu sambil memeluk dan mencium kening anak gadisnya yang sudah tumbuh dewasa itu.
Wanita itu teringat pada masa kecil anak gadis semata wayangnya itu. Betapa susahnya mendidik anak seorang diri, tanpa bantuan seorang suami. Dia terharu pada pendirian anaknya itu. Ia masih ingat waktu masih kecil anaknya itu selalu bilang ingin jadi psikolog. Ia masih ingat saat mati-matian membangkitkan semangat anak gadisnya karena di SMA hanya bisa masuk ke kelas IPS. Padahal untuk menjadi seorang psikolog kesempatannya lebih besar di IPA. Dan saat ini anak gadisnya itu bisa kuliah di Fakultas Psikologi di Universitas ternama. Ia sungguh bahagia. Ia akan melakukan apa pun untuk membahagiakan Laras, anak gadis semata wayangnya.
“Ya udah, sana bunda berangkat. Jangan peluk aku terus dong! Laras kan capek.”, kata laras manja.
“Iya deh. Tapi bunda kan masih kangen sama kamu.”, kata wanita itu lalu pergi menuju RS.
Laras pun segera makan siang lalu istirahat di kamarnya yang selalu dirawat sangat rapihnya oleh bundanya selama dua bulan terakhir. Ia memandangi poster Yesus Kristus di dinding.
“Tak berubah sama sekali. Bunda emang yang terbaik!”, katanya dalam hati mengetahui kalau bundanya selalu merawat kamar itu baik-baik. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia lalu mengambil Handphonenya dan menulis sms.
***
“Hari ini panas banget! Udahan saja lah wan. Ntar puasaku nggak sampai maghrib gimana?”, kata Anto yang sedang jadi Blayer temannya panjat dinding.
“Heh, mendingan ginian! Kalo tidur terus puasamu nggak ada pahalanya!”, kata Wawan yang sibuk mencari point-point di dinding untuk pijakan.
Tiba-tiba Handphone Wawan yang diletakkan di dalam tas di dekat Anto berdering. Diambilnya Handphone itu lalu dilihatnya.
“Wan, ada sms ni! Dari Laras!”, teriak Anto.
“Bacain dong.”
“Ehm, aku bacain nih! Met Siang. Lagi ngapain? Aku baru aja nyampe rumah lho! Gitu bunyinya. Sapa sih Laras itu? Cewekmu?”, kata Anton yang membacakan sms Wawan.
“Adik kelas jaman SMA. Sekarang di Fakultas Psikologi Universitas –tiiit, sensor!-”, Jawab Wawan enteng, “Eh aku turun. Pegang talinya yang kuat!”, Wawan pun melepas pegangannya di point-point yang dibuat menyerupai batu-batu yang menonjol di tebing. Tubuhnya berayun-ayun di ketinggian sekitar sepuluh meter.
Setelah tubuh kurusnya menginjakkan tanah, “Eh beresin nih! Karena kamu ngeluh terus, kita udahan aja.”, kata Wawan kepada Anto, lalu mengambil Handphonenya dari Anto dan membalas sms.
“Nto, ntar malem aku nggak bisa ikutan buka bersama. Ada acara mendadak nih! Bilang ke teman-teman ya, aku di suruh pulang sama bokap!”, katanya kepada wawan yang sedang sibuk membereskan tali kernmentel.
“Halah! Bilang aja mau ngapelin cewek.”, gerutu Anto.
“Heh, bilang ke teman-teman aku di sms bokap suruh pulang ya. Inget, bokap gua! Oke?? Habis lebaran aku traktir kopi joss deh!”, rayu Wawan kepada Anto.
“Oke deh boss!”
Wawan adalah seorang Mahasiswa semester 3. Dia muslim yang baik dari keluarga muslim baik-baik. Dia juga anggota sebuah kelompok pecinta alam terbesar di Universitasnya, atau bahkan di kota itu.
***
Malam pun semakin larut. Adzan isya baru saja selesai berkumandang. “Jadi kamu tidak pulang selama dua bulan? Betah kamu ya di sana?”, kata wawan setelah meminum teh yang disuguhkan di atas meja.
“Ya gimana lagi. Di sini juga nggak ada teman, ngapain pulang.”, kata Laras, “Lho, kamu nggak solat..., solat apaan ya namanya, aku lupa.”
“Taraweh maksudmu?”
“Ya gitu deh.”
“Sekali-sekali nggak kan juga nggak apa-apa. Lagian udah lama aku nggak ngobrol sama kamu. Aku takut besok kamu udah pulang lagi.”, kata wawan menghela nafas.
“Nggak secepat itulah. Aku balik sehari setelah kamu lebaran.”, katanya.
Pertemuan kali ini terasa beda, setelah sekian lama. Laras merasa sangat canggung. Ia berusaha menemukan kembali perasaannya yang dulu terhadap lelaki yang sekarang duduk di depannya itu. Tapi bagaimana pun ia tetap tak menemukannya. Hanya hambar yang ia rasakan.
Begitu pula dengan lelaki yang bernama Wawan itu. Ia tak tahu bagaimana suasana hatinya sekarang. Senangkah? Sedihkah? Bukan. Bukan itu yang ia rasakan. Ia tak merasakan apa-apa. Padahal saat-saat seperti inilah yang telah lama ia rindukan. Ia menatap wajah Laras dengan seksama. Mencari sesuatu. Sesuatu yang akan menarik dirinya kembali seperti dulu. Dan sama seperti Laras, ia pun tak menemukannya.
“Kamu udah punya pacar?”, suara Laras memecah keheningan diantara mereka berdua.
“Hah?”, wawan masih saja terbengong.
“Kenapa sih bengong?? Masih terlena dengan wajah manisku?”, canda Laras mencairkan suasana seperti masa-masa dulu.
“Eh, oh, nggak kok. Ehm, maksudku aku enggak punya pacar.”, Wawan pun salah tingkah dibuatnya.
“Lha terus yang anak kebidanan itu gimana?”, tanya Laras kemudian.
“Intan maksudmu? Dia belum pulang. Tapi lebaran dia pasti pulang.”
“Yang aku maksud gimana hubungannya denganmu?”
“Owh, itu...”, Wawan berhenti sejenak, “Aku udah lama nggak ketemu dia. Nomor HP nya juga kayaknya udah ganti.”
“Begitu ya...”, kata Laras lebih kepada dirinya sendiri, “Jadi everestnya masih belum ada?”
Laras pernah begitu memahami Wawan. Ia begitu memahami perasaan wawan sebagai seorang pecinta alam. Bukan. Ia begitu memahami perasaan wawan sebagai seorang pendaki. Pendaki yang selalu bercita-cita terlalu tinggi. Merengkuh puncak Everest. Puncak tertinggi di dunia. Terletak di pegunungan Himalaya dengan ketinggian 29 ribu kaki lebih, atau 8800 an meter di atas permukaan laut.
“Sudah.”, jawabnya singkat.
“Sudah mulai mendaki?”
“Ya! Dan sepertinya aku tersesat. Aku tak akan mencapai puncaknya.”
“Begitu ya,” katanya kemudian, “Jadi kamu telah sadar kalau cita-citamu terlalu tinggi? Dan kini kamu telah menyerah dan mencari jalan kembali?”
“Ehm, sepertinya kamu sudah melupakan sifat-sifatku.”, kata wawan sementara Laras hanya diam dan bertanya-tanya apakah itu benar.
“Cita-cita harus digantungkan setinggi langit. Dan Aku akan memulai dari awal, mendaki ke puncak everest dari sisi yang berbeda. Dan aku masih yakin aku akan berdiri di salah satu puncaknya.”
“Lalu bagaimana dengan aku?”, tanya Laras kemudian. “Aku memang tak pernah menjadi everestmu ya?”
“Aku kan pernah bilang, kamu adalah bagian dari hidupku. Aku tak akan pernah melupakanmu. Kamu pernah mengisi sebagian hidupku, dan itu tak akan pernah hilang selama aku masih hidup. Tapi aku kira kamu sudah tak mau lagi mengisi sisanya. Jadi aku mencari orang yang akan mengisi sisanya, menyelesaikannya sampai akhir. Dan aku harap itu everest.”
***
Iedul Fitri pun berlalu, tetapi pagi ini belum menunjukkan arus balik yang begitu ramai. Seperti biasanya pertigaan jalan itu di penuhi orang-orang yang berusaha mengais rezeki. Di tepi jalan Laras dengan Bundanya sedang menanti kedatangan sebuah bus antar kota dari arah barat.
“Laras, apa ini nggak terlalu cepat? Bunda kan masih kangen sama kamu.”
“Laras juga gitu bun, tapi kalo besok-besok pasti lebih ramai sama arus balik. Lagian Laras kan pergi untuk mengejar cita-cita. Mendaki everest ku!”
“Apa yang kamu katakan barusan Laras?”
“Akh, nggak. Bukan apa-apa bun. Udah ya, tuh busnya dateng.”, Laras pun bersalaman dengan bundanya. Di peluknya erat-erat tubuh bundanya itu. “Aku pergi dulu bunda.”, bisiknya di telinga bundanya.
Laras pun naik ke dalam bus itu. Setelah naik, bus antar kota itu pun meluncur membawa laras ke arah timur. Bundanya melambaikan tangannya ke arah bus yang perlahan menghilang itu. “Selamat jalan nak. Semoga cita-citamu tercapai”, katanya.
The End
Pesan Moral:
Sesuatu yang telah berlalu biarkanlah berlalu, buatlaah itu menjadi kenangan. Karena mungkin saat kenangan itu kembali lagi, kau tak akan pernah merasakannya seperti dulu lagi. Tataplah ke depan, raih cita-citamu dan jangan pernah ingin meraih kenangan.
Seorang gadis berkulit hitam manis dengan rambut sebahu terurai turun dari bus.
“Mbak, becak, mbak?”, kata seorang tukang becak menawarkan jasa.
“Tidak.”, jawab gadis berkaos putih itu sopan.
Gadis itu berlalu meninggalkan lalu lalang di sekitar bus yang baru saja berhenti itu. Ia berjalan menuju RS Kristen dan menyeberang jalan, lalu memasuki jalan kecil di depan Rumah Sakit. Wajah gadis itu tampak ceria.
“Huh, dua bulan telah berlalu. Tempat ini masih seperti dulu. Nyaman.”, kata gadis yang bertubuh seksi atau bisa dibilang agak gendut itu.
Ia masuk ke sebuah rumah sederhana, di depannya tumbuh sebuah pohon mangga.
“Eh, laras udah pulang!”, sapa seorang wanita paruh baya yang mengenakan seragam putih-putih itu kepada gadis yang bernama laras itu, “Gimana perjalanannya, nak?”
“Yah, jelas capek lah bun. Eh bunda mau ke RS?”, katanya kepada wanita tadi yang ternyata Ibunya. Ibunya adalah seorang perawat di RS Kristen di seberang jalan besar itu.
“Iya, bunda jaga siang! Tuh di meja makan ada makanan, kalau kamu mau makan siang.”, kata wanita itu sambil memeluk dan mencium kening anak gadisnya yang sudah tumbuh dewasa itu.
Wanita itu teringat pada masa kecil anak gadis semata wayangnya itu. Betapa susahnya mendidik anak seorang diri, tanpa bantuan seorang suami. Dia terharu pada pendirian anaknya itu. Ia masih ingat waktu masih kecil anaknya itu selalu bilang ingin jadi psikolog. Ia masih ingat saat mati-matian membangkitkan semangat anak gadisnya karena di SMA hanya bisa masuk ke kelas IPS. Padahal untuk menjadi seorang psikolog kesempatannya lebih besar di IPA. Dan saat ini anak gadisnya itu bisa kuliah di Fakultas Psikologi di Universitas ternama. Ia sungguh bahagia. Ia akan melakukan apa pun untuk membahagiakan Laras, anak gadis semata wayangnya.
“Ya udah, sana bunda berangkat. Jangan peluk aku terus dong! Laras kan capek.”, kata laras manja.
“Iya deh. Tapi bunda kan masih kangen sama kamu.”, kata wanita itu lalu pergi menuju RS.
Laras pun segera makan siang lalu istirahat di kamarnya yang selalu dirawat sangat rapihnya oleh bundanya selama dua bulan terakhir. Ia memandangi poster Yesus Kristus di dinding.
“Tak berubah sama sekali. Bunda emang yang terbaik!”, katanya dalam hati mengetahui kalau bundanya selalu merawat kamar itu baik-baik. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia lalu mengambil Handphonenya dan menulis sms.
***
“Hari ini panas banget! Udahan saja lah wan. Ntar puasaku nggak sampai maghrib gimana?”, kata Anto yang sedang jadi Blayer temannya panjat dinding.
“Heh, mendingan ginian! Kalo tidur terus puasamu nggak ada pahalanya!”, kata Wawan yang sibuk mencari point-point di dinding untuk pijakan.
Tiba-tiba Handphone Wawan yang diletakkan di dalam tas di dekat Anto berdering. Diambilnya Handphone itu lalu dilihatnya.
“Wan, ada sms ni! Dari Laras!”, teriak Anto.
“Bacain dong.”
“Ehm, aku bacain nih! Met Siang. Lagi ngapain? Aku baru aja nyampe rumah lho! Gitu bunyinya. Sapa sih Laras itu? Cewekmu?”, kata Anton yang membacakan sms Wawan.
“Adik kelas jaman SMA. Sekarang di Fakultas Psikologi Universitas –tiiit, sensor!-”, Jawab Wawan enteng, “Eh aku turun. Pegang talinya yang kuat!”, Wawan pun melepas pegangannya di point-point yang dibuat menyerupai batu-batu yang menonjol di tebing. Tubuhnya berayun-ayun di ketinggian sekitar sepuluh meter.
Setelah tubuh kurusnya menginjakkan tanah, “Eh beresin nih! Karena kamu ngeluh terus, kita udahan aja.”, kata Wawan kepada Anto, lalu mengambil Handphonenya dari Anto dan membalas sms.
“Nto, ntar malem aku nggak bisa ikutan buka bersama. Ada acara mendadak nih! Bilang ke teman-teman ya, aku di suruh pulang sama bokap!”, katanya kepada wawan yang sedang sibuk membereskan tali kernmentel.
“Halah! Bilang aja mau ngapelin cewek.”, gerutu Anto.
“Heh, bilang ke teman-teman aku di sms bokap suruh pulang ya. Inget, bokap gua! Oke?? Habis lebaran aku traktir kopi joss deh!”, rayu Wawan kepada Anto.
“Oke deh boss!”
Wawan adalah seorang Mahasiswa semester 3. Dia muslim yang baik dari keluarga muslim baik-baik. Dia juga anggota sebuah kelompok pecinta alam terbesar di Universitasnya, atau bahkan di kota itu.
***
Malam pun semakin larut. Adzan isya baru saja selesai berkumandang. “Jadi kamu tidak pulang selama dua bulan? Betah kamu ya di sana?”, kata wawan setelah meminum teh yang disuguhkan di atas meja.
“Ya gimana lagi. Di sini juga nggak ada teman, ngapain pulang.”, kata Laras, “Lho, kamu nggak solat..., solat apaan ya namanya, aku lupa.”
“Taraweh maksudmu?”
“Ya gitu deh.”
“Sekali-sekali nggak kan juga nggak apa-apa. Lagian udah lama aku nggak ngobrol sama kamu. Aku takut besok kamu udah pulang lagi.”, kata wawan menghela nafas.
“Nggak secepat itulah. Aku balik sehari setelah kamu lebaran.”, katanya.
Pertemuan kali ini terasa beda, setelah sekian lama. Laras merasa sangat canggung. Ia berusaha menemukan kembali perasaannya yang dulu terhadap lelaki yang sekarang duduk di depannya itu. Tapi bagaimana pun ia tetap tak menemukannya. Hanya hambar yang ia rasakan.
Begitu pula dengan lelaki yang bernama Wawan itu. Ia tak tahu bagaimana suasana hatinya sekarang. Senangkah? Sedihkah? Bukan. Bukan itu yang ia rasakan. Ia tak merasakan apa-apa. Padahal saat-saat seperti inilah yang telah lama ia rindukan. Ia menatap wajah Laras dengan seksama. Mencari sesuatu. Sesuatu yang akan menarik dirinya kembali seperti dulu. Dan sama seperti Laras, ia pun tak menemukannya.
“Kamu udah punya pacar?”, suara Laras memecah keheningan diantara mereka berdua.
“Hah?”, wawan masih saja terbengong.
“Kenapa sih bengong?? Masih terlena dengan wajah manisku?”, canda Laras mencairkan suasana seperti masa-masa dulu.
“Eh, oh, nggak kok. Ehm, maksudku aku enggak punya pacar.”, Wawan pun salah tingkah dibuatnya.
“Lha terus yang anak kebidanan itu gimana?”, tanya Laras kemudian.
“Intan maksudmu? Dia belum pulang. Tapi lebaran dia pasti pulang.”
“Yang aku maksud gimana hubungannya denganmu?”
“Owh, itu...”, Wawan berhenti sejenak, “Aku udah lama nggak ketemu dia. Nomor HP nya juga kayaknya udah ganti.”
“Begitu ya...”, kata Laras lebih kepada dirinya sendiri, “Jadi everestnya masih belum ada?”
Laras pernah begitu memahami Wawan. Ia begitu memahami perasaan wawan sebagai seorang pecinta alam. Bukan. Ia begitu memahami perasaan wawan sebagai seorang pendaki. Pendaki yang selalu bercita-cita terlalu tinggi. Merengkuh puncak Everest. Puncak tertinggi di dunia. Terletak di pegunungan Himalaya dengan ketinggian 29 ribu kaki lebih, atau 8800 an meter di atas permukaan laut.
“Sudah.”, jawabnya singkat.
“Sudah mulai mendaki?”
“Ya! Dan sepertinya aku tersesat. Aku tak akan mencapai puncaknya.”
“Begitu ya,” katanya kemudian, “Jadi kamu telah sadar kalau cita-citamu terlalu tinggi? Dan kini kamu telah menyerah dan mencari jalan kembali?”
“Ehm, sepertinya kamu sudah melupakan sifat-sifatku.”, kata wawan sementara Laras hanya diam dan bertanya-tanya apakah itu benar.
“Cita-cita harus digantungkan setinggi langit. Dan Aku akan memulai dari awal, mendaki ke puncak everest dari sisi yang berbeda. Dan aku masih yakin aku akan berdiri di salah satu puncaknya.”
“Lalu bagaimana dengan aku?”, tanya Laras kemudian. “Aku memang tak pernah menjadi everestmu ya?”
“Aku kan pernah bilang, kamu adalah bagian dari hidupku. Aku tak akan pernah melupakanmu. Kamu pernah mengisi sebagian hidupku, dan itu tak akan pernah hilang selama aku masih hidup. Tapi aku kira kamu sudah tak mau lagi mengisi sisanya. Jadi aku mencari orang yang akan mengisi sisanya, menyelesaikannya sampai akhir. Dan aku harap itu everest.”
***
Iedul Fitri pun berlalu, tetapi pagi ini belum menunjukkan arus balik yang begitu ramai. Seperti biasanya pertigaan jalan itu di penuhi orang-orang yang berusaha mengais rezeki. Di tepi jalan Laras dengan Bundanya sedang menanti kedatangan sebuah bus antar kota dari arah barat.
“Laras, apa ini nggak terlalu cepat? Bunda kan masih kangen sama kamu.”
“Laras juga gitu bun, tapi kalo besok-besok pasti lebih ramai sama arus balik. Lagian Laras kan pergi untuk mengejar cita-cita. Mendaki everest ku!”
“Apa yang kamu katakan barusan Laras?”
“Akh, nggak. Bukan apa-apa bun. Udah ya, tuh busnya dateng.”, Laras pun bersalaman dengan bundanya. Di peluknya erat-erat tubuh bundanya itu. “Aku pergi dulu bunda.”, bisiknya di telinga bundanya.
Laras pun naik ke dalam bus itu. Setelah naik, bus antar kota itu pun meluncur membawa laras ke arah timur. Bundanya melambaikan tangannya ke arah bus yang perlahan menghilang itu. “Selamat jalan nak. Semoga cita-citamu tercapai”, katanya.
The End
Pesan Moral:
Sesuatu yang telah berlalu biarkanlah berlalu, buatlaah itu menjadi kenangan. Karena mungkin saat kenangan itu kembali lagi, kau tak akan pernah merasakannya seperti dulu lagi. Tataplah ke depan, raih cita-citamu dan jangan pernah ingin meraih kenangan.
0 komentar:
Posting Komentar