Malam pun tiba. Kami pun pulang berjalan kaki. Saat itu Cha menggandeng erat tanganku lalu ia memejamkan matanya. “Ip, aku mau main buta-butaan. Tuntun aku ya?”, katanya mesra padaku sambil menutup matanya. Aku pun menggandengnya. Aku tuntun ia di jalan sepanjang lorong itu. Kulihat sesekali Cha mengintip, memastikan bahwa aku memperhatikannya, bahwa jalan yang ia lalui memang benar. Kubilang padanya, “Cha, kamu jangan ngintip. Aku nggak akan mencelakaimu kok. Percaya deh sama aku.” Dia pun percaya padaku. Dia percaya bahwa aku tak akan mencelakainya. Dia percaya kalau aku akan menuntunnya melewati lorong itu. Aku menggandeng tangannya dan menginstruksikan kepadanya kemana dia harus melangkah. Walaupun begitu tetap saja ia sesekali mengintip, membuka sedikit matanya sekedar untuk memastikan bahwa langkahnya memang benar.
Saat itu aku teringat akan diriku. Suatu waktu aku berdoa meminta kepada Tuhan untuk mengabulkan keinginanku. Tapi di lain waktu, aku tak sabar. Sesaat aku berpikir, Apakah Tuhan memperhatikanku? Apakah Dia benar-benar akan menuntunku? Dan aku pun mengintip, melanggar perintah-Nya.
Sebenarnya aku percaya pada-Nya. Aku percaya bahwa Dia tak akan melupakanku. Bahwa Dia akan membawaku kepada kebaikan. Tapi sekali waktu aku merasa sendirian. Aku merasa semua yang aku anggap baik tak aku dapati. Bahkan yang lebih parah aku tidak merasakan keberadaan-Nya. Pada saat-saat itulah aku melakukan kesalahan. Aku melanggar janji kepercayaanku pada-Nya. Aku mencaci-Nya karena keinginan sesaatku tak terkabulkan. Padahal mungkin itu adalah yang terbaik bagiku. Dia Maha Tahu, sedangkan aku?? Tapi tetap saja kadangkala aku meragukan-Nya.
Oh.. Tuhan maafkanlah diriku. Dan tetaplah menuntunku sampai akhir seperti aku menuntun Cha malam itu sampai di rumahnya.
0 komentar:
Posting Komentar