Nasionalisme Ala Ekonom


Tulisan kedua di bulan ini, aku ingin berbicara tentang nasionalisme ekonomi. Ekonomi karena aku adalah seorang mahasiswa ekonomi dan Nasionalisme karena saat ini adalah bulan nasionalisme. Seperti kita tahu sebentar Lagi Indonesia akan memasuki umur ke 64 kemerdekaannya. Nasionalisme menjadi tema dimana-mana. Hampir setiap komponen bangsa merasakan gejolak nasionalisme dalam momen HUT Kemerdekaan ini. Densus 88 kembali bersemangat menumpas terror-teror, apalagi dengan dipicu peledakan bom di Kuningan. Elit Politik ikut berbicara Nasionalisme dalam rangka meraih kursi jabatan untuk lima tahun ke depan. Tak kalah juga anak-anak sekolah rame-rame menyuarakan nasionalisme dalam karnaval-karnaval tujuh belasan.
Krisis Ekonomi Global yang kemarin rame diperbincangkan kini tertutup euphoria nasionalisme. Namun sayang Nasionalisme Indonesia masih sebatas symbol, bendera, dan ritual tahunan. Birokrasi kita lebih sibuk melakukan pungutan resmi maupun liar dari pada memfasilitasi kegiatan industri. Bukannya mengevaluasi pungutan resmi dan tidak resmi, pemerintah malah membiarkan pengusaha berhadapan langsung dengan buruh. Padahal kesinambungan usaha membutuhkan insentif dan keringanan pajak.
Pemerintah hanya menindak secara kasuistik penegak hukum dan aparat yang terlibat dalam “pungutan liar” Seharusnya itu menjadi titik awal pembersihan internal. Sekarang ini Indonesia sedang mengalami demokrasi yang hanya membuat kekuasaan menjadi rebutan untuk memperkaya diri. Padahal tetangga seperti China dan Singapura menjadi maju karena prioritas pembangunan dengan menerapkan demokrasi secukupnya.
Sebenarnya Indonesia memiliki modal yang cukup untuk bangkit, baik dari sosial maupun kekayaan alam. Sayang, penguasa lalai mewujudkan cita-cita sosial kemerdekaan. Kepentingan ekonomi strategis di sandera kepentingan korporatokrasi. Ramah Investasi identik dengan menjual kekayaan alam atau obral kebijakan. Dan, pada akhirnya Indonesia terjajah secara ekonomi.
Dengan susah payah pengusaha kita menembus pasar dunia. Namun pemerintah membiarkan pasar dalam negeri dikuasai produk impor. Padahal tak ada bangsa konsumtif yang menguasai dunia. Di era sekarang, dimana pasar ekspor menjadi semakin sempit, pasar dalam negeri menjadi kian penting artinya. Permudah proses pematenan produk dan kreativitas lokal.
Sektor informal yang terbukti tahan uji saat krisis ekonomi, malah kerap kali menjadi korban penggusuran, tanpa jalan keluar. Di tingkat kebijakan moneter, pemerintah membiarkan rezim devisa bebas berkuasa. Pemerintah tidak percaya akan kekuatan mata uang sendiri. Dollar AS dibiarkan menjadi patokan harga di dalam negeri. Ilusi dikembangkan menjadikan psikologi pasar terbentuk untuk menyimpan dollar bak perhiasan.
Ekonomi Nasional terlupakan dari nasionalisme. Devisa hasil ekspor disimpan di bank luar negeri. Perbankan luar negeri diperkuat, rupiah terpuruk. Nasionalisme pun mengalami devolusi. Cara bangkit dari kemiskinan memanfaatkan nasionalisme sempit (kedaerahan dan keagamaan) dengan mengorbankan kekompakan bangsa. Praktik demokrasi berlangsung liar dan anarki.
Otoritas moneter seharusnya tidak perlu ragu memakai kekuatannya. Nasionalisasi kekayaan bangsa yang ramah investasi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

membaca seluruh blog, cukup bagus

Comersial Box